Nikah Sirri, Pintu Darurat Lelaki Yang Dibenci Wanita

Rembang, hanyalah salahsatu nama kecamatan (dari 24 kecamatan) di Kabupaten Pasuruan. Letaknya jauh dari keramaian kota, sekitar 15 kilometer arah barat alun-alun Pasuruan. Berpenduduk tidak lebih dari 50.000 jiwa (atau sekitar 11.000 kepala keluarga) –23.000 lelaki dan 27.000 perempuan-- yang tersebesar di 17 desa. Namun, kesohoran Kecamatan Rembang ini ternyata, tidak hanya di Jawa Timur. Melainkan, sebagian besar khalayak di republik ini (lebih-lebih kalangan kaum lelaki) sudah mengenal nama Rembang di Kabupaten Pasuruan. Mengapa? Ada sejumput keunikan (konon sudah mentradisi) yang terjadi pada komunitas perempuan Rembang. Mereka lebih suka dimadu atau alias dijadikan isteri simpanan. Lumayan!


**************************

Aneh, memang. Tapi, itulah kenyataan yang terjadi dalam komunitas kehidupan wanita Rembang. Mereka tak suka neko-neko (macam-macam) nuntut segala rupa kebutuhan sabanhari. Dengan status pernikahan yang jelas serta sah secara agama (Islam) walau tanpa harus tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) dan berikut ditambah sekedar modal atau biaya yang bisa dikelola untuk bekal mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka sudah lebih dari cukup. Dari situlah, hampir kebanyakan diantara para wanita Rembang yang buka usaha konfeksi, mengelola wartel, warung kaki lima dan sebagainya. Yang penting, dari usahanya itu bisa menghasilkan dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Lebih dari itu, soal suami mau menikah lagi atau kembali pada isteri tua (bagi yang sudah beristeri), mereka seakan tidak mau peduli. Pokoknya, tidak sampai terjadi perceraian. Menariknya lagi, lazimnya pernikahan yang mereka lakukan itu cukup dilakukan dibawah tangan atau sirri (menikah diam-diam tanpa sepengetahuan KUA).
Sekilas, kalau dilihat dari prosesnya, nikah sirri di Rembang memang mudah dan cepat. Yang seringkali terjadi, jauh sebelum menuju ke pernikahan sirri ini, biasanya melalui jasa makelar atau calo. Cuma, tidak sedikit diantara para calo itu yang sekaligus merangkap menjadi modin (orang yang menikahkan). Mereka inilah, yang acap keliling dari kampung ke kampung sampai melintas antar kota, sekedar menjajakan jasa nikah sirri terhadap perempuan Rembang.

Mirip Wartawan
“Jadi, kamu mau beristeri dua. Enak aja. Perempuan mana sih yang mau dimadu?” Satu penggalan dialog dalam sinetron nasional yang sedang ditayangkan di stasiun televisi swasta ini jadi kenyataan di Rembang. “Oh, Mas mau nikah sirri tho?” ujar Suwaji (50), penjual bunga sedap malam yang mengaku sering ketamuan orang untuk nikah sirri di Rembang, Pasuruan. “Ada yang molek mas, masih gadis lagi. Maharnya pun nggak berat,” katanya bercanda.
Perbincangan itu ia lakukan dengan lelaki yang mengaku dari Surabaya. Lika-liku kerja seorang calo nikah sirri di Rembang ini mirip seorang wartawan. Keluar masuk kampung mencari informasi, bahkan kata Suwaji stok yang paling banyak dan lebih diminati lelaki kebanyakan diluar Kecamatan Rembang, barangkali ada gadis atau janda yang siap dinikahi secara sirri. Begitu diperoleh informasi, si calo biasanya melanjutkan dengan mendatangi orangtua calon mempelai perempuan dengan berbagai teknik rayuan. Jika calon mempelai perempuan dan orangtuanya setuju, si calo akan mencarikan calon suami bahwa ada perempuan diluar Kecamatan Rembang, seperti Kecmatan Wonorejo, Sukorejo yang siap dimadu. Cuma, aku Suwaji, dirinya tidak mencari sembarang lelaki yang asal mau menikah sirri. “Saya mencari lelaki yang baik-baik. Karena, saya tidak ingin bermasalah dikemudian hari nanti,” katanya.
Kalau lelaki yang ditawari menikah sirri ternyata memang berhajat, si calo kemudian mulai mengajukan sejumlah angka. Angka-angka itu biasanya menyangkut biaya pernikahan, antara lain jumlah mahar (mas kawin), biaya menikah dan nafkah harian yang diharapkan oleh calon mempelai perempuan setelah ia menikah nanti. Pada kesempatan itu, meskipun sekedar mempertemukan (menjodohkan) lelaki dan perempuan muslim sudah diyakini sebagai perbuatan yang baik, tetapi perilaku si calo terkesan acapkali malah menodai yang kebaikan itu. Soalnya, si calo dalam kesempatan ini melakukan tawar-menawar biaya pernikahan plus “fee” yang diharapkan.

Rela Jadi Isteri Kedua
Praktik pernikahan sirri di Rembang ini, agaknya, berbeda jauh lazimnya di masyarakat, terutama di Ponorogo, Indramayu Jawa Barat. Jadi kawin sirri itu sudah menyebar keberbagai daerah. Pelaku pernikahan sirri yang “dijodohkan” lewat “diplomasi jalanan” ala Rembang ini biasanya ditujukan pada para lelaki yang malu ketahuan beristeri ganda. Dengan kata lain, para lelaki itu mengharapkan kenikmatan dengan isteri baru secara sah tetapi menghendaki tanggung jawab yang tidak berat.
Sebab itu, biasanya para calo mengincar lelaki berdompet tebal, karena diharapkan dari mereka bisa diperoleh bonus yang besar pula. Calo biasanya sudah memaparkan pula, bahwa perempuan yang disodorkan umumnya tidak terlalu menuntut materi, lebih enteng ketimbang harus menafkahi seperti rumah tangga pada umumnya. Isteri yang dinikahi sirri siap jika hanya sesekali dikunjungi dan tidak banyak menggerutu menyoal besar dan frekuensi pemberian belanja harian. “Asal selama ditinggal, sang suami sudah membekali modal usaha yang cukup, biasanya tidak bakal rewel,” kata seseorang yang mengaku modin nikah sirri di Rembang.
Memang, sikap itu mungkin terasa ganjil bagi perempuan lain. Tapi, perempuan di Rembang seakan-akan sudah bisa mandiri kendati suami tak hadir berhari-hari. Kalau sang suami datang menjenguk isteri sirri ini, atau anak-anaknya (jika sudah memiliki anak), tetap mendapat sambutan baik. “Saya tidak masalah dengan suami. Biarlah ia hidup dengan isteri pertamanya, asal saya tidak diceraikan, tetap diberi bekal modal untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Itu saja buat saya, sudah memadai,” tutur Eli (nama samaran), isteri sirri yang sudah dikarunia dua anak, warga Desa Kalisat ini. Ia sudah enam tahun menjadi isteri kedua.
Mengapa para perempuan di Kecamatan Rembang banyak yang merelakan diri untuk menjadi isteri simpanan? Padahal, dalam banyak kasus pernikahan sirri, suami cenderung tidak mengindahkan etika berumah tangga. Menurut Sulhani, salah seorang Ketua RW di Rembang, tidak ada alasan kecuali karena agama Islam tidak melarang. “Hampir seratus persen warga Rembang ini muslim,” ujar Sulhani.
Kalau diperhatikan di Kecamatan ini tidak ada tempat ibadah lain selain masjid (ada 64 masjid), 499 mushala dan dua surau. Dari sekitar 50.000 jiwa penduduk Rembang hanya ada 10 orang umat Protestan dan empat orang memeluk agama Budha. Masih kata Sulhani, kalau dengan cara sirri saja sudah halal, mengapa memilih yang rumit. Hanya karena dasar inilah, perilaku rela menjadi isteri kedua ini menjadi sesuatu yang lumrah. Sulhani sendiri tidak paham sejak kapan fenomena ini muncul. Sejak ia kanak-kanak, perempuan di desanya sudah banyak yang menjadi “madu”.***(Imam Bukhori)


Tulisan II (boks) :
Yang Tesembunyi, Lebih Mahal

Omong-omong, berapa ongkos untuk pernikahan sirri ala Rembang ini? Menurut perhitungan kasar, biaya yang dikeluarkan lebih mahal dibanding pernikahan formal di KUA. Untuk pernikahan secara sirri di Rembang, seorang mempelai lelaki harus mengeluarkan biaya antara Rp.500.000 sampai Rp 2 juta dan bahkan bisa lebih. Jumlah ini sudah termasuk untuk bonus bagi calo yang bertindak sebagai comblang (pihak yang mempertemukan kedua mempelai). Angka yang dikeluarkan seorang comblang bervariasi antara Rp100.000 sampai Rp 200.000. “Tergantung perjanjian awal saat menawarkan adanya calon mempelai perempuan yang bersedia dinikahi siri,” ujar Samin, tukang ojek warga Desa Kalisat yang sesekali menjadi calo pernikahan sirri.
Mahalnya biaya menikah sirri di Rembang juga karena faktor uang keamanan. Ini lazimnya menjadi bagian oknum pejabat setempat, kata sumber yang tak mau disebut jati dirinya. Soal uang keamanan ini memang susah dibuktikan karena tak banyak orang yang mau buka mulut. Malah, menurut seorang sumber di Rembang, oknum Muspika di Rembang pun ada juga yang memiliki isteri simpanan.
Sementara itu, menikah di KUA jauh di bawah biaya pernikahan sirri. “Untuk menghadirkan seorang petugas KUA, paling hanya dikenai biaya pencatatan nikah kurang dari Rp 100.000,” ujar salah seorang yang tidak mau disebut namanya. Angka ini tidak termasuk biaya di Kelurahan dan Kecamatan. Biaya untuk administrasi di Kecamatan dan Kelurahan menjadi tanggung jawab tiap-tiap mempelai.
Tapi, tren menikah sirri ini tak perlu birokrasi berbelit. Asal ada kedua mempelai yang sama-sama bersedia menikah, ada wali dan saksi, tinggal dilangsungkan akad. Beres! “Saya sengaja menikah dengan dua perempuan ketimbang saya menyeleweng dosanya berat. Dari segi agama Islam, yang saya jalani hala,” ujar Makinun, lelaki memiliki isteri kedua warga Kalisat. Kalau soal biaya hidup sehari-hari bisa dirundingkan. “Yang penting bisa adil dan jujur. Itu saja kuncinya,” kata Makinun.
Pendapat M. Ali Muntaha (49), yang sering dipanggil Ma' Ali warga Desa Rembang sejalan dengan alasan Makinun. Pernikahan sirri memang mempunyai ‘cacat hukum’ di mata hukum pemerintah. Tapi, disadari atau tidak, kata seorang ustad, cara yang dipilih Makinun masih lebih mulia dibanding membiarkan diri terjerumus ke lembah perzinaan. “Lebih memprihatinkan lagi, bila praktek perzinaan merajalela di tengah masyarakat. Na’udzubillah,” kata Ali Muntaha.
Senada dengan sumber lainnya, Ustad Ali Muntaha menyarankan, agar lelaki yang telah menikah sirri, meski sudah terlanjur, sebaiknya sekaligus menempuh jalur hukum pemerintah. “Pemerintah ‘kan perlu tahu juga sejauhmana perkembangan penduduk yang sudah menikah atau yang belum,” katanya.
Lain lagi pendapat dari KH. Badjuri Hidayatullah Pengasuh Pesantren "Mafatikhul Ulum" Kalisat, Rembang, dan juga sebagai Penasehat Forum Komunikasi Panti Asuhan (FKPA) se-Kabupaten Pasuruan yang baru dibentuk, beliau kurang sependapat kalau di Rembang dijadikan momok kawin sirri, padahal di Kecamatan lain, seperti Sukorejo, Wonorejo, Kejayan, dan lain-lainnya, juga banyak terjadi kawin sirri, tapi mengapa hanya Rembang yang dijadikan kambing hitam, apalagi di Rembang baru-baru ini dimuat di koran bahwasannya Kecamatan Rembang tempat kawin kontrak itu tidak benar sama sekali, yang ada hanya kawin sirri.
Masih menurut Kiai Bajuri, ada 3 (tiga) hal permasalahan kawin sirri yang kami tidak sependapat, antara lain :
1. Kawin sirri takut dibuat kesempatan pelarian bagi orang-orang yang bermasalah di desanya, sehingga melarikan diri dengan cara kawin sirri.
2. Kalau punya anak bisa-bisa terlantar, karena tidak mempunyai akte kelahiran yang disebabkan nikah dibawah tangan ini.
3. Merendahkan martabat kaum wanita.

Pasal Hiburan
Hukum positif Indonesia tentang perkawinan antara lain UU Nomor 1/1974, yang dijabarkan dalam PP Nomor 10/1983 dan disempurnakan lagi dengan PP Nomor 45/1990. Aturan ini, bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), merupakan penegasan keharusan beristeri satu (monogami). Tapi, pemerintah tampak ambivalen, sebab masih memberi ruang bagi praktik prostitusi.
Kalau hukum positif itu dihadapkan dengan kelonggaran praktik prostitusi (yang ditandai dengan adanya sejumlah lokalisasi), memang amat kontras. Poligami yang secara syariah halal, tertutup bagi pegawai negeri. Sedang, prostitusi malah eksis. Pada sisi lain, kaum perempuan yang menjadi isteri simpanan (kendati sah menurut syariah) kurang memperoleh perlindungan hukum. Jika terjadi sesuatu terhadap para isteri sirri ini, lemahlah mereka di mata hukum.
Sekilas, aturan ini seakan-akan melindungi kaum perempuan dari kemungkinan sang suami yang PNS berpoligami. Ikatan lain buat para lelaki PNS, melalui Badan Administrasi Kepegawaian Negeri (BAKN) menerbitkan karis (kartu istri). Karis ini menutup peluang adanya fasilitas tunjangan terhadap isteri, anak dan pensiun bagi perempuan lain, selain yang namanya tercantum dalam karis. BAKN belum pernah menerbitkan karis untuk isteri kedua. Dalam catatan di setiap Kantor Pengadilan Agama dimanapun, sulit menemumkan data PNS yang secara resmi memiliki dua istri atau lebih. Menurut prosedur, seorang PNS yang ingin menikah lagi harus membawa surat pengantar dari lurah/ kepala desa tempat tinggalnya, baru kemudian diteruskan ke KUA Kecamatan setempat.
Birokrasi itu mengundang tanda tanya. Pernahkah seorang PNS direstui secara formal berpoligami? Selama ini belum pernah ada. Kalaupun ada, sifatnya laten alias tahu sama tahu antara atasan dan bawahan. Sampai saat ini mendapatkan izin berpoligami bagi PNS, bahkan mungkin bagi anggota TNI dan Polri, bagai menegakkan benang basah.
Kendati demikian ada pasal hiburan dalam PP Nomor 10/1983 dan PP Nomor 45/1990. Pada pasal 10 disebutkan bahwa izin beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan pejabat atau pimpinan instansi bila memenuhi sekurang-kurangnya satu dan atau tiga syarat kumulatif sekaligus, yaitu istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri, atau istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak melahirkan keturunan.
Pasal hiburan itu tidak menjamin seorang PNS gampang berpoligami. Sebab, jika tidak cukup alasan terpenuhinya salahsatu syarat tadi, pejabat pimpinan instansi tidak berhak memberikan izin berpoligami. Selain itu ada penghalang lain, syarat kumulatif, yakni adanya persetujuan tertulis dari isteri pertama dan dilengkapi dengan bukti surat keterangan penghasilan (sebagai salah satu bukti bahwa yang bersangkutan benar-benar mampu membiayai lebih dari satu istri dan anak-anaknya) serta ada jaminan tertulis dari yang bersangkutan untuk sanggup berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya. Jika ternyata syarat kumulatif ini tak terpenuhi, maka pejabat pimpinan instansi PNS dilarang memberikan izin berpoligami.
Aneh, memang. Toh, pasal prostitusi dibiarkan tetap longgar.***(Imam Bukhori)

Previous | Index | Next | Print artikel