Penuhanan Kepentingan Rusak Kebangsaan

Sekarang ini banyak orang yang menjadikan kepentingan sebagai “tuhan” yang pada akhirnya dapat merusak tatanan kehidupan dan ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Berbagai kepentingan yang dituhankan itu telah membuat orang saling bersaing sehinggga rentan dengan konflik.
Demikian kata KH. Musthofa Bisyri (Gus Mus) dalam acara Sarasehan Ulama Pengasuh Pondok Pesantren dan Majlis Taklim yang di prakarsai pengasuh PP Ali Maksum KH Atabik Ali, di komplek pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, 8 Juli 2003.
Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Rembang itu tampil bersama Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra dan rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Amin Abdullah.
“Karena itulah, diperlukan reformasi keberagamaan”, kata kiai yang baru saja mengeluarkan joke membentuk Partai Kebangkitan Sementara (PKS), sebagai respon atas sulitnya bersatu antara dua kelompok PKB.
Reformasi keberagamaan dimaksudkan sebagai upaya untuk membenahi pemahaman keberagamaan yang kurang tepat atau bahkan telah menyimpang. Reformasi itu dimulai dari diri sendiri, termasuk para pemimpin dan pemuka agama yang ada di tengah masyarakat.
“Harus ada kaji ulang terhadap pemahaman tentang ketuhanan, tentang Al-Qur’an. Kita ini sering tersenyum sendiri ketika membaca ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang orang kafir, ternyata cocok dengan diri kita, ketika membaca ayat yang menerangkan orang munafik ternyata pas dengan kelakuan kita”, katanya yang disambut tawa para kiai peserta sarasehan.
Sementara itu, Amin Abdullah yang juga ketua PP Muhammadiyah menyatakan, ukhuwwah wathaniyah bisa dibangun atas dasar penghargaan terhadap kaum minoritas. Dalam hal ini, pihak yang mayoritas demi persaudaraan seharusnya bisa memberikan perlindungan kepada pihak minoritas.
Kata kuncinya, lanjut Amin adalah pada sikap penghargaan terhadap kemanusiaan. Tanpa itu, umat akan terus menerus terjebak pada sikap saling bermusuhan yang tidak berujung pangkal.
Pada sesi kedua Eep Saifullah Fatah yang berbicara bersama dengan Prof Dr Ichlasul Amal dan Ketua PWNU DIY Prof Dr Mas’ud Mahfudh MBA menyatakan, demokratisasi dibutuhkan untuk menjalankan pemerintahan dan menegakkan keadilan.
“Hanya yang perlu di catat, demokrasi itu bukan merupakan paham atau ideologi yang harus dianut. Tapi demokrasi hanyalah alat atau mekanisme dalam meraih sesuatu. Karenanya, jangan disamakan antara penganut demokrasi dengan penghamba Amerika atau Barat dan sebagainya”, ungkapnya.
Ukhuwah wathaniyah, tambahnya, sungguhpun merupakan hal penting, namun sekarang ini berada pada kondisi yang genting. Pasalnya, semangat itu sedang terancam oleh berbagai kepentingan dan gejolak yang menggejala.
Prof Dr Mas’oed yang berbicara ukhuwah wathaniyah dari perspektif ekonomi menyebutkan, disintegrasi bangsa terancam oleh kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang disebabkan oleh sistem ekonomi yang tidak berkeadilan. Disamping itu, kemiskinan itu sendiri juga merupakan faktor terjadinya konflik.
Diluar itu, implementasi otda (otonomi daerah) yang tidak tepat juga potensial menimbulkan konflik, terutama ketika tiap-tiap daerah berlomba untuk memperkaya diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Ditambah lagi dengan ketimpangan peredaran uang yang sebagian besar berada di Jakarta.
Sarasehan yang diikuti oleh 600 ulama pengasuh pesantren dan majelis taklim yang dibuka oleh Menko Kesra Yusuf Kalla ini merupakan rangkaian acara haul KH Ali Maksum ke 14. Pada puncak acaranya dihadiri oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Presiden RI Megawati Taufiek Kiemas. (m.muslih albaroni)

Previous | Index | Next | Print artikel