Aneh, Polisi ‘Kok Tak Berdaya Memberantas Pornografi

Lemahnya penegak hukum (polisi, jaksa maupun hakim) menindak pornografi, agaknya tak cukup kuat menyalahkan gerakan Front Pembela Islam (FPI) didalam aksi dengan caranya sendiri. Toh, FPI sebagai bagian dari masyarakat memiliki hak melakukan class action memberantas pornografi.***

Pornografi makin merajalela. Anehnya, polisi dibuat jadi tak berdaya. Ada apa? Padahal, untuk menjerat perkara pornografi ini polisi sudah mempunyai bekal sangat ampuh: pasal 282 KUHP. Menurut pasal ini, bahwa perkara pornografi bukan merupakan “delik aduan,” melainkan hanya “delik biasa.” Artinya, polisi (selaku pejabat penegak hukum yang berwenang dan memiliki otoritas hukum karena jabatannya) dituntut proaktif didalam bertindak berikut memperkarakannya hingga tuntas.
Pornografi kian merajalela. Kasus penggerebekan penerbit Tabloid Buah Bibir di Desa Wonokupang, Kecamatan Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo, beberapa waktu lalu, misalnya, merupakan salahsatu langkah tepat yang dilakukan polisi. Apalagi sebelum melangkah jauh melakukan penggerebekan, polisi terlebih dahulu telah melakukan sharing dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, agaknya, masyarakat menjadi bertanya-tanya (dan bahkan kecewa) dengan tindakan polisi setelah mengetahui tidak satu pun, pelaku maupun pengelola penerbitan pornografi itu tidak jadi ditahan. Pemimpin Redaksi Tabloid Buah Bibir, Bambang Prianggodo, maupun CEO TOP Group Media (yang menerbitkan Tabloid Buah Bibir), Singgih Sutoyo, sejak peristiwa penggerebekan pertengahan April lalu hingga sekarang ternyata dibiarkan bebas berkeliaran.
Yang aneh pula, bahwa ternyata tindakan polisi itu tidak disertai dengan sanksi “pemberhentian terbit” (bredel) terhadap Tabloid Buah Bibir. Menurut beberapa keterangan yang dihimpun Tabloid Suara SANTRI di kalangan TOP Group Media menyebutkan, bahwa polisi tidak sampai menahan Bambang Prianggodo maupun Singgih Sutoyo berikut dibiarkannya terus terbit Tabloid Buah Bibir dan beberapa produk serupa lainnya adalah, “Karena bos Singgih sudah melakukan ‘86’ (damai) dengan pihak kepolisian,” ujar seorang karyawan TOP Group Media yang tak mau disebutkan namanya. Berapa biaya damainya? Jawabnya simpang-siur. Ada yang menyebut Rp 50 Juta, ada pula yang menyebut Rp 500 Juta. “Tenang saja, bos Singgih tidak akan ditahan dan media produk TOP Group Media tidak akan dilarang terbit. Yang penting beres, semua bisa ditempuh dengan saling pengertian,” tandasnya.
Namun, menanggapi berita miring mengenai aksi “86” (damai) yang dilakukan pihak TOP Group Media terhadap kepolisian ini, sumber Tabloid Suara SANTRI di Polda Jatim menyebutkan, bahwa tidak ditahannya Bambang Prianggodo itu, karena yang bersangkutan cukup kooperatif dan tidak menyulitkan petugas selama penyidikan berlangsung. Tapi mengapa pula polisi tidak tegas-tegas memberikan sanski “pemberhentian terbit” terhadap Tabloid Buah Bibir yang jelas-jelas telah dinyatakan sebagai media yang mempublikasikan pornografi? Toh, polisi sebelumnya telah terlanjur menjerat Bambang Prianggodo sebagai tersangka. “Kalau sudah begini pertanyaannya, bukan urusan saya Mas,” kata seorang petugas Polda Jatim.

Uji Kejujuran Polisi
Sumber lain di Polda Jatim menjelaskan, penyidikan kasus Tabloid Buah Bibir tersebut sudah hampir rampung. Yakni, tinggal menunggu penyidik Polda Jatim melimpahkan perkara itu ke kejaksaan untuk diproses ke pengadilan. Siapa saja yang menjadi tersangka? Apakah pemimpin redaksi dengan wartawan serta redakturnya atau hanya pimrednya? Entahlah.
Siapa saja yang diajukan ke pengadilan, itu bukan hal yang sangat penting. Yang jauh lebih strategis dalam kasus ini adalah, langkah polisi menindak pers porno dengan mendayagunakan mekanisme hukum (pidana). Selama ini, di tengah euforia pers bebas, kehadiran pers nyaris seperti pers liberal (bahkan binal), produk pers cetak yang menyebarkan pornografi (yakni memuat foto wanita semi telanjang beserta pengemasan berita dan judul-judul yang bombastis maupun sensasional) makin merajalela dan dipasarkan di mana-mana.
Bukankah publikasi berita yang sensasional dan foto yang cenderung pornografi itu telah memasuki ranah hukum? Dalam konteks inilah sering dipertanyakan, mengapa aparat hukum (polisi) tidak aktif bertindak menanggulangi penyebaran pornoisme oleh pers cetak tersebut? Bukankah delik pornografi (Pasal 282-283 KUHP) merupakan delik biasa (bukan delik aduan), sehingga polisi bisa aktif bertindak tanpa harus menunggu adanya laporan dari korban dulu?
Disinilah uji kejujuran polisi dipertaruhkan sekaligus dipertanggungjawabkan. Vonis yang bakal dijatuhkan polisi sedang ditunggu khalayak. Bila polisi bisa dan bersedia bertindak tegas dan jujur dalam menindak kasus pornografi ini sesuai kewenangan dan otoritas jabatan yang dipikulnya, tentunya akan banyak efek yang signifikan yang dihasilkan. Pertama, vonis itu akan menimbulkan efek penjeraan (deterrent) kepada pelaku dan sesama pengelola pers lainnya, agar tak terjerumus dalam praktik jurnalisme pornografi. Kedua, vonis itu penting sebagai kontribusi positif untuk membangun pers yang bebas sekaligus sehat. Ketiga, pemberdayaan mekanisme hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pers.
“Tapi ini semua perlu tindakan tegas pihak kepolisian,” kata Prof. Dr. Muladi, SH kepada wartawan seusai acara diskusi “Majalah Tempo vs Tommy Winata” di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa pertengahan Mei lalu. Betapa tidak, media porno sudah jelas-jelas merusak moral dan melanggar etika hukum, polisi tidak bertindak apa-apa. kalaupun ada penangkapan terhadap bos-bos media pornografi tersebut kemudian kasusnya menguap tak jelas jeluntrung-nya. Jarang diusut tuntas sampai dibawa ke pengadilan.
Lebih jauh Muladi menjelaskan, pornografi atau pornoaksi adalah sesuatu hal yang tidak memiliki parameter sama di setiap masa dan komunitas. “Pornografi merupakan countemporery community standart (standar komunitas kontemporer),” kata mantan Menkeh di zaman Kabinet Presiden BJ Habibie itu. Maksudnya, lanjutnya, disetiap komunitas memiliki standar yang berbeda tentang pemaknaan pornografi, dan terkadang standar tersebut bisa berubah dilain waktu. Namun harus diingat, bahwa standar tersebut hanya berlaku pada komunitas dan saat tertentu saja. Muladi mencontohkan, pakaian-pakaian olahraga para atlit yang biasanya ketat dan agak minim tidak bisa dikategorikan porno. Asal pakaian itu digunakan di tempat-tempat di mana para atlit itu berlatih maupun bertanding. Tetapi, akan menjadi runyam, jika pakaian semacam dipakai untuk berjalan-jalan dan berbelanja ke pasar. Demikian juga dengan dunia akademis, utamanya bidang kedokteran. Gambar-gambar bagian tubuh vital manusia yang ada di dalam buku-buku kedokteran tidak termasuk ke dalam kategori pornografi.
Masih menurut Muladi, tampilan organ vital manusia yang ada dalam dunia kedokteran itu bertujuan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan bidang-bidang lainnya, semacam seni dan lainnya. Akan tetapi akan menjadi berbeda ketika tampilan-tampilan yang mempertunjukkan organ vital manusia itu diumbar dengan bebas melalui media massa. Padahal, yang namanya media massa, tentunya dijual bebas dan bisa dibeli oleh siapa saja dari anak kecil sampai orang tua.
Muladi mendefinisikan pornografi adalah hal-hal yang bisa membangkitkan birahi dengan cara-cara melawan hukum. Sedangkan gambar-gambar wanita seksi yang ada dalam media-media cabul semacam beberapa media produk TOP Group Media ini, sudah termasuk dalam kategori pornografi. Karena gambar-gambar itu mampu membangkitkan birahi siapa saja bagi yang membacanya.

Masyarakat Patut Class Action
Media-media perusak moral ini sudah selayaknyalah dihapuskan dari bumi pertiwi kita yang tercinta ini. Bagaimana tidak, tingkat kejahatan perkosaan dan tindak asusila makin bertambah akibat media-media mesum. Jika tidak segera dilakukan tindakan terhadap media ini, kata Muladi, bisa dibayangkan bagaimana rusaknya moral dan akhlak generasi muda kita di masa depan.
Muladi menganjurkan, agar masyarakat segera bertindak cepat untuk menyikapi keberadaan media-media porno ini. “Masyarakat bisa melakukan class action ke pengadilan untuk menutup media porno ini,” katanya. Ia sadar betul, bahwa media-media porno semacam ini lebih banyak mudharat-nya daripada manfaatnya. Apalagi bagi generasi muda. Keberadaan media porno ini hanya menguntungkan segelintir orang, tapi mengorbankan masa depan generasi. Sehingga ia tidak segan-segan untuk menyerukan kepada masyarakat untuk memberantas keberadaan media-media porno ini sampai ke akar-akarnya.
Tidak kalah pentingnya adalah peran para aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan pihak kejaksaan. Para pejabat penegak hukum ini harusnya cepat tanggap dan bertindak dalam menyikapi keberadaan media porno. “Polisi harus bertindak,” pinta Muladi. Karena media-media porno sudah jelas-jelas melanggar hukum. Pasal 282 KHUP sudah cukup jelas dan cukup menjadi dasar bagi polisi untuk menindak media-media porno tersebut. Ia mengingatkan, pornografi dalam ketentuan hukum yang berlaku bukan termasuk ke dalam delik aduan. Sehingga ada pihak-pihak yang secara jelas melakukan tindakan pornografi polisi harus langsung menindak pihak-pihak tersebut.
Jika polisi tidak bertindak, malah hal ini akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Ada apa dengan polisi? Apakah sudah ada kong kalikong di bawah tangan antara polisi dengan bos media porno tersebut? Menurutnya, sejauh ini kasus media porno dan togel sampai saat ini pelakunya tidak pernah tertangkap. Sehingga, bisa dipastikan dugaan bahwa polisi dan pemilik media porno atau pun media togel sudah ada konspirasi terselubung. Motivnya, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang bisa berupa uang atau harta benda lainnya.
Sebaliknya, polisi pun tidak punya cukup alasan melarang kalangan Front Pembela Islam (FPI) didalam aksinya memberantas pornografi di tanah air ini dengan cara yang dilakukannya sendiri. Sebab, agaknya FPI sudah cukup kesal dengan aparat penegak hukum kita (polisi, jaksa maupun hakim) yang tidak mau proaktif memberantas pornografi. Padahal, tanpa menunggu pengaduan dari masyarakat pun, seperti polisi, jaksa maupun hakim, telah memiliki kewenangan penuh sesuai dengan jabatan yang disandangnya dan dilindungi oleh Undang Undang.
Apalagi pornografi adalah perkara biasa, bukan merupakan delik aduan. Dan yang dilakukan FPI tidak lain adalah, salahsatuk bentuk class action saja.***(IB)

Previous | Index | Next | Print artikel