Strategi Promosi dan Investasi di Era Afta
Era AFTA tinggal di pelupuk mata. Bagaimana dengan dukungan pemerintah dan peran dunia usaha?***
Dukungan pemerintah yang sangat bermanfaat bagi dunia industri adalah konsistensi dan keterpaduan dalam regulasi. Selama ini terasa kelemahan atas kedua hal ini. ketentuan pemerintah yang saling berbenturan harus dihindari. Demikian juga dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan grand strategy yang telah ditetapkan sendiri oleh pemerintah. Kalau grand strategy belum ada maka harus ditetapkan oleh pemerintah bersama dunia usaha.
Dunia usaha tidak dapat lagi mengharapkan dukungan pemerintah dalam bentuk kemudahan yang diberikan kepada industri atas dasar karena produknya diexport (insentif export). Kalaupun dukungan diberikan harus atas dasar kinerja efisiensi, misalnya efisiensi dalam penggunaan energi dan penggunaan bahan per unit produksi, atau penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, dan seterusnya. Peningkatan efisiensi akan mengurangi biaya produksi yang berarti menambah keuntungan sebelum pajak dan peningkatan pembayaran pajak. “Kelebihan” pembayaran pajak (PPH Badan) karena efisiensi inilah yang harus dikembalikan kepada perusahaan sebagai insentif untuk menjaga efisienasi.
Kemudahan juga harus diberikan berdasarkan lokasi investasi dan penggunaan tenaga kerja. Insentif atas dasar lokasi bertujuan untuk mendorong kegiatan industri di luar Jawa sehingga berdampak positif terhadap penanggulangan kemiskinan di pedesaan dan urbanisasi ke kota-kota besar. Industri padat karya harus diberikan dukungan dalam bentuk keringanan perpajakan karena masalah penggnagguran yang sudah demikian tinggi harus segera diatasi.
Masalah regulasi perizinan harus ditinjau kembali secara total. Setiap peraturan harus dirumuskan kembali tujuannya atau untnuk apa peraturan dikeluarkan dan mengapa harus ada izin kegiatan ini dan itu. Setiap peraturan yang menyangkut perizinan harus rasional dan jelas tujuannya dan tidak saling tumpang tindih.
Membuat regulasi memang wilayahnya Pemerintah, tetapi dunia usaha bukan objek peraturan yang mati. Dinamika dunia usaha terkait dengan kondisi dan situasi global, sehingga peraturan yang efektif harus disesuaikan dengan berbagai keadaan yang tidak semuanya dikuasai oleh pemerintah. Tujuan dibuatnya peraturan tentang dunia usaha jangan hanya untuk mengatur dunia usaha, tetapi seharusnya juga untuk menciptakan keadaan agar dunia usaha terus hidup dan hidup dengan efisiensi tinggi. Dalam mencari solusi berbagai masalah, pemerintah dan dunia usaha harus berpijak pada platform yang jelas atau atas dasar grand strategy yang sudah saling disepakati.
Paradigma proses keluarnya peraturan juga harus dirubah. Jangan lagi dunia usaha dijadikan objek konsultasi dan sosialisasi peraturan yang sudah hampir matang digagas di kantor-kantor pemerintah. Sebaliknya, beritahu kepada dunia usaha dengan jelas apa program dan tujuan nasional yang dijadikan prioritas negara. Kemudian minta dunia usaha merumuskan apa yang diperlukan dunia usaha untuk mencapai tujuan tadi. Kalau permintaan tadi dapat diterapkan dan diusahakan, baru buat peraturannya (yang berfungsi sebagai kontrak antara dunia usaha dengan pemerintah dan rakyat).
Dunia usaha juga perlu dituntut untuk terikat public accountability yang telah dicantumkan dalam peraturan. Public Accountability mencakup banyak aspek usaha, antara lain aspek perlindungan lingkungan, aspek tenaga kerja, aspek perpajakan, aspek moralitas dan etika usaha, dan seterusnya. Karena peraturan berfungsi sebagai “kontrak”, maka dunia usaha wajib memenuhi kontraknya.
Kalau paradigma di atas diterapkan maka KADIN akan dengan sendirinya harus melakukan banyak perubahan fungsi dan struktur. Meskipun menurut undang-undang fungsi dan kewajiban KADIN sudah jelas, tetapi dalam kenyataan peran KADIN makin lama makin kabur saja. Peran KADIN sebagai partner pemerintah makin lama makin lemah karena ada kekaburan dalam fungsi KADIN. Ketidakjelasan fungsi ini bukan saja bagi khalayak ramai, tetapi juga bagi pengusaha dan barangkali juga bagi para pembuat UU (DPR) serta pihak eksekutif (pemerintah dan birokratnya). Kekaburan fungsi ini disebabkan oleh telah berubahnya sistem politik dan sistem dalam kehidupan bernegara serta perubahan kondisi global. Kekaburan fungsi ini menyebabkan pertanyaan di masyarakat, sebenarnya KADIN itu mewakili siapa. Kalau mewakili dunia usaha, maka mengapa masih demikian banyak pengusaha dan perusahaan yang terlepas dari kegiatan KADIN. UU tentang KADIN barangkali perlu ditinjau ulang dalam rangka perumusan peran dunia usaha ke depan.Strategi Promosi Export dan Investasi
Selama ini untuk menarik investasi pemerintah sudah banyak melakukan promosi sedangkan promosi export juga sudah banyak dilakukan oleh dunia usaha. Namun setiap kali kita ulang lagi berbicara untuk meningkatkan promosi karena apa yang dilakukan selama ini dirasa kurang memuaskan.
Promosi investasi di masa depan tidak dapat lagi dilakukan dengan hanya menawarkan kemudahan-kemudahan. Promosi investasi di masa depan harus dilakukan dengan memberikan keyakinan (assurance) yang bersifat struktural. Calon investor harus yakin (dengan sendirinya) dalam keadaan atau kondisi yang bagaimana dia akan hadir di Indonesia. Dengan lain perkataan, Indonesia harus meyakinkan calon investor akan kecilnya resiko kalau mereka melakukan investasi di Indonesia.
Untuk mencapai tingkat country risk yang dapat diterima oleh calon investor, Indonesia masih harus bekerja keras dalam banyak bidang. Indonesia harus memperkecil resiko usaha yang bersumber dari kondisi politik, keamanan, sosial, ketidakpastian hukum termasuk peraturan investasi dan bisnis, pelayanan birokrasi dan seterusnya. Apa artinya kita tawarkan keringanan pajak misalnya, tetapi setahun atau dua tahun kemudian diributkan oleh DPR dan kemudian dibatalkan oleh pemerintah.
Untuk memperkecil country risk ini memang diperlukan waktu yang lama dan kerja keras semua pihak, tetapi tetap harus kita mulai dari sekarang. Kita tidak perlu menunggu sampai investor asing datang baru kita buatkan paket promosi, semua itu dapat dimulai dari sekarang dengan menciptakan “government risk” yang rendah bagi dunia usaha nasional. Kalau resiko usaha yang datang dari perizinan, pelayanan instansi pemerintah, regulasi usaha dan seterusnya ini dapat diperkecil, maka akan ada refleksi pada calon investor asing tanpa kita harus melakukan road show dan upaya promosi sejenisnya. Apa yang dialami oleh dunia usaha nasional merupakan cermin bagi calon investor asing untuk menilai resiko investasi. Itulah cara promosi investasi yang efektif.
Promosi export barang dan jasa Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi struktur dan sistem industri kita. Kalau seorang perngusaha menawarkan barang atau jasa ke importir luar negeri, mereka meminta beberapa jaminan (assurance), antara lain dalam hal konsistensi mutu, harga dan delivery. Konsistensi tiga hal di atas terkait erat dengan kondisi struktural dan sistem yang baku dalam kehidupan industri kita. Sebagai contoh, belum masuknya UKM dalam struktur dan sistem industri nasional kita dengan jelas, maka UKM kita banyak mendapat tekanan meskipun banyak melakukan export. Sebagai contoh, tidak jelasnya posisi struktural antara Perhutani dengan industri mebel kecil menyebabkan permasalahan sumber kayu bagi industri mebel. Ketidakpastian sumber kayu ini bukan saja menjadikan export tersendat, tetapi juga dimanfaatkan pihak pembeli asing sebagai instrumen untuk menekan pengrajin kecil.
Export TKI merupakan contoh lain tentang tidak adanya kejelasan tentang “produk” yang kita export. Kalau saja kita sudah memiliki sistem sertifikasi ketrampilan tenaga yang kredibel, maka TKI kita akan lebih terhormat dan mendapat penghargaan finansial yang lebih tinggi. Hal ini belum terwujud karena “export” TKI belum masuk dalam sistem nasional dan belum merupakan pendukung struktur industri kita.
Di masa depan ini kita tidak dapat menggantungkan diri pada export barang kayu dari usaha skala besar. Dengan lain perkataan struktur export kita harus solid, didukung oleh barang dan jasa dari sektor skala besar, kecil dan menengah.***(Disunting dari tulisan Ketua Kadin Indonesia, Suryo B. Sulistio, yang disampaikan dalam Seminar LPNU – Tim SS)
Previous | Index | Next | Print artikel