Islam di Sudan ‘Mempersatukan Perbedaan’
Negara di Afrika Tengah bagian timur ini merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Selain itu, konflik berkepanjangan kian memperburuk sendi-sendi kehidupan dan beragama.
Akan tetapi, Sudan tak bisa dikesampingkan beg2itu saja dari peta dunia Islam. Pertama, karena Sudan merupakan negara terluas di benua Afrika. Kedua, negara ini memiliki tokoh Muslim kharismatik yang menggagas penerapan syariat Islam di sana, yakni Dr. Hassan Turabi.
Sejak merdeka dari Inggris pada 1 Januari 1956, negara besar ini tak pernah lepas dari konflik internal perebutan kekuasaan. Bahkan jauh sebelum itu, pertikaian dan perebutan kekuasaan, sudah mewarnai Sudan sejak ribuan tahun silam. Yaitu saat Raja Aksum dari Ethiopia, menghancurkan ibu kota Kerajaan Kush, Meroe. Kota tua itu dibangun raja-raja dari dinasti Mesir yang pertama datang ke Sudan Utara, sekitar tahun 4000 SM.
Kemudian berdirilah dua kerajaan baru, yaitu Maqurra dan Alwa. Pada tahun 1500-an Maqurra jatuh ke tangan orang-orang Arab bersamaan dengan masuknya Islam ke Sudan. Setelah melakukan perkawinan campuran dengan suku Funj, orang Arab Muslim menghancurkan Alwa. Selanjutnya dinasti Funj berkuasa hingga 1821.
Selanjutnya Sudan dikuasai dinasti Ottoman Turki yang saat itu berada di bawah kekuasaan Mesir dengan dukungan Inggris. Gubernur Jendral Muhammad Ali, memerintah secara keras. Rakyat setempat baru dilibatkan dalam pengambilan keputusan saat Muhammad Ali digantikan Ali Khursid Agha.
Hingga tahun 1881, tak ada pemimpin yang mengorganisasi upaya perjuangan kemerdekaan Sudan, sampai akhirnya muncul figur Muhammad Ahmad. Pasukannya berhasil menguasai Khartoum pada 26 Januari 1885. Namun, perjuangan itu dipatahkan oleh pasukan Mesir-Inggris. Kemerdekaan Sudan diperoleh tiga tahun setelah Mesir dan Inggris menyepakati pemberian hak untuk mengatur pemerintahan sendiri, pada Februari 1953.
Pemerintahan di wilayah seluas 2,5 juta km persegi dengan penduduk 29 juta itu, tak pernah benar-benar stabil. Perang saudara di sana merupakan konflik terpanjang dalam sejarah Afrika. Pada tahun 1972, pernah dicapai kesepakatan damai, tapi itu tak bertahan lama. Konflik makin membesar antara pemerintah pusat di Sudan Utara yang mayoritas Muslim dengan kelompok-kelompok etnis di selatan yang dimotori Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA).
Islam memang menjadi agama mayoritas (73 persen) penduduk Sudan. Sementara di selatan, masih banyak yang menganut kepercayaan tradisional (16,7 persen) dan Nasrani.
Pertikaian internal di Sudan yang tak kunjung henti, membuat perekonomian negara ini tak berdaya. Apalagi tanah di Sudan Utara sangat kering, kecuali sebagian wilayah di sekitar sungai Nil. Sementara lahan pertanian di Sudan selatan, tak produktif karena jauh dari jalan, pasar, dan tak tersentuh sarana transportasi.
Sudan memiliki potensi tambang berupa emas, bijih besi, dan tembaga yang cukup melimpah, Sedangkan potensi pertaniannya adalah kapas, gandum, kacang tanah, dan hewan ternak.. Lonjakan pertumbuhan ekonomi yang cukup berarti terjadi pada tahun 1979, saat ditemukan deposit minyak bumi di Sudan Selatan yang kemudian diekplorasi.
Kesenjangan Sudan Utara dengan Selatan nyata sekali. Secara etnis, keduanya juga memiliki perbedaan. Sudan Utara dirtinggali oleh mayoritas keturunan Arab yang meliputi tiga perempat penduduk Sudan. Maka bahasa Arab yang menjadi bahasa pengantar utama di Sudan. Sementara di selatan orang Negro yang dominan dengan beragam suku.
Sudan berbatasan dengan Mesir dan Libya di utara, Ziare di selatan, Chad dan Ethiopia masing-masing di barat dan timur. Pada Juni 1989, Jendral Omar Hassan Ahmad Al-Bashir didukung oleh Dr Hassan Turabi melakukan kudeta tak berdarah atas pemerintahan Presiden Jakfar Numeri. Dwi tunggal Bashir dan Turabi memimpin Sudan masing-masing sebagai presiden dan ketua parlemen. Besarnya pengaruh Turabi sebagai ketua Partai Kongres Nasional, menimbulkan kecurigaan pada Bashir.
Pada Desember 1999, Bashir lantas membubarkan parlemen. Tak hanya itu, Turabi juga dipecat dari jabatan ketua partai berkuasa. Turabi membalasnya dengan mendirikan partai baru. Demi mengamankan kekuasaannya, Bashir melakukan konsolidasi dan meminta dukungan negara tetangga seperti Mesir, Libya dan negara Barat serta Amerika Serikat.
Negara-negara barat, seperti juga Bashir, memang menilai Turabi sebagai tokoh berbahaya dengan gagasannya menegakkan syariat Islam. Tak. Heran ketika Turabi kian berpengaruh di dalam negeri, Sudan diisolasi dari pergaulan dunia dengan berbagai tudingan miring seperti pelanggaran HAM dan terorisme. Serta merta Amerika dan sekutunya langsung memasukkan Sudan dalam daftar negara-negara yang menyokong terorisme. Bersama negara tetangganya, antara lain Mesir, Uganda, Eritrea, dan Chad, negara tersebut juga dituding berusaha mengekspor gerakan radikal Islam.
Disamping budaya Afrika, pengaruh budaya Arab sangat kental pada keseharian masyarakat Sudan. Kendati tidak semua Muslim di sana menggunakan bahsa pengantar Arab, namun sejarah membuktikan bahwa penerimaan Islam sangat dipengaruhi oleh proses arabisasi. Hampir tidak ada pemaksaan lantaran Islam masuk melalui perantara dan hubungan erat dengan para pedagang asal Timur Tengah di masa lampau.
Pada sensus tahun 1981, populasi penduduk sekitar 21 juta jiwa. Kini diperkirakan mencapai 36 juta jiwa dan mayoritas memeluk Islam. Sebanyak 3-4 juta jiwa tinggal di wilayah ibu kota Khartoum. Adapun satu juta jiwa mendiami kawasan selatan Sudan yang kerap bergolak.
Sudan tergolong unik di antara negara-negara Islam. Jika di negara Islam yang lain selalu terkena stigma fundamentalis, Sudan justru bangga menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Mereka pun gigih membela prinsip ini meskipun harus dibayar dengan perang saudara.
Dapat dikatakan, Sudan hanyalah sebuah negara dan bukan bangsa. Ada sekitar 100 lebih bahasa dan dialek yang digunakan masyarakat sehari-hari. Mereka terpecah oleh banyak etnis, tapi tidak ada satupun etnis yang menjadi mayoritas. Terpecah pula oleh wilayah dan kesukuan. Selebihnya, populasi di utara kawasan didominasi oleh budaya Arab sedangkan di selatan oleh budaya Afrika lebih berkembang.
Menghadapi segala perbedaan ini, kaum mayoritas berpendapat, satu hal yang dapat mempersatukan Sudan hanyalah Islam. Dan untuk tujuan ini, Sudan menerapkan Islamisasi. (DJ/mus)Previous | Index | Next | Print artikel