Agama Dalam RUU Sisdiknas ; Tak Ada Yang Dirugikan

Konsep pendidikan nasional era reformasi yang digulirkan dalam draf RUU Sisdiknas, manerik untuk terus didiskusikan bersama. Menurut Suyanto, mantan Ketua Komite Reformasi Pendidikan, yang merancang awal draf RUU Sisdiknas itu, bahwa keberadaannya telah mempresentasikan kondisi bangsa kita. Semangatnya adalah, kesetaraan gender, demokratisasi, desentralisasi sebagai cermin era otonomi daerah, dan isu partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pendidikan. Kemajuan signifikan dalam RUU itu meliputi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan pluralitas.
Tapi, dalam perjalanannya kemudian muncul perbedaan pendapat, terutama mengenai pasal 13 (kemudian dikenal dengan “pasal agama”), terus menjadi tarik-menarik kepentingan. Materi yang dibahas di DPR sejak 20 Maret 2003 itu kini menjadi pro dan kontra. Muara penyebabnya adalah, pasal yang berbunyi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Tarik-menarik itu muncul akibat perbedaan pendekatan. Kalangan Islam, misalnya, cenderung pro. Sebaliknya kalangan non-Islam, tidak setuju terhadap RUU tersebut. Kalangan Islam menganggap isi pasal itu (terutama yang menyangkut pendidikan agama) sudah tepat. “Pasal itu menunjukkan adanya pluralitas dalam bangsa ini,” kata Sekretaris PW Muhammadiyah Jawa Timur, H. Nadjib Hamid, S.Sos. “Keberadaan pasal tersebut sudah sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia (HAM).”

Pro - Kontra

Namun, hal itu (seakan) menjadi kontradiktif dengan konsep pendidikan yang digulirkan Ki Supriyoko. Menurut dia, RUU Sisdiknas belum menyentuh roh pendidikan yang menyangkut lima aspek: kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, keagamaan dan kekeluargaan. Jadi, suatu pendidikan harus dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang, kejujuran, keikhlasan, dan sikap keagamaan dalam suasana kekeluargaan.
Lain lagi, ungkapan Yamarma. Dia menekankan pendidikan religiusitas karena ada kelemahan yang fundamental dalam RUU Sisdiknas. Pendidikan religiusitas bersifat universal sesuai dengan prinsip falsafah Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena agama menggambarkan Tuhan dan manusia yang berbeda-beda, pendidikan agama pada RUU Sisdiknas menjadi tidak relevan untuk dimasukkan.
Masih ada lagi yang menawarkan konsep pendidikan nasional mendatang berbasis pendidikan pluralis-multikulturalis. Diharapkan pendidikan nasional merupakan jembatan bagi keragaman etnis dan agama di Indonesia sekaligus membendung munculnya berbagai benturan di era globalisasi, kompetisi, serta pluralisme agama, budaya dan etnis. Masih banyak lagi yang mengkritisi dan menawarkan bentuk ideal pendidikan nasional mendatang, seperti pendidikan sebagai investasi kemanusiaan, mazhab-mazhab pendidikan, pendidikan jangan terjebak dalam kapitalisme dan lain-lain.

Inklusif - Pluralis

Untuk memperkaya wacana pendidikan nasional ke depan, ada satu lagi yang tidak banyak dicermati para ahli pendidikan kita, yakni perlunya pendidikan agama yang pluris-inklusif. Bentuk pendidikan ini merupakan antitesis berbagai kewaspadaan publik yang memandang agama sebagai wajah yang penuh teror, garang dan penebar peperangan.
Wilayah agama sudah menjadi opini internasional untuk terus perlu diwaspadai peranannya. Kalau kita kemudian latah untuk menilai agama demikian, kapan bangsa ini merasa aman dengan pluralitas keberagamaannya sendiri? Agama yang diopinikan sebagai bentuk keyakinan yang eksklusif dan penebar disintegrasi, permusuhan, dendam, iri hati, saling hujat, bahkan saling bunuh, kalau tidak di-manage dengan arif akan terus berwajah demikian. Beragama dan keragamannya merupakan keniscayaan bangsa Indonesia, tidak untuk dibiarkan dan memasukkannya ke wilayah privat dan keluarga, tapi sebaliknya dikembalikan kepada misi suatu agama, yang diharapkan agama merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Di sinilah perlunya pendidikan formal memberikan ruang pada pendidikan agama yang bisa menjembatani persoalan keyakinan keagamaan agar saling berinteraksi secara konstruktif. Di situlah perlunya model pendidikan yang mengarah pada pemahaman yang inklusif-pluralis. Paham inklusif-pluralis, dalam berinteraksi dengan aneka ragam unsur masyarakat, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya.
Dengan pandangan keberagamaan yang inklusif-pluralis, akan terjadi dialog antar agama, dan semua berkewajiban untuk menegakkan agama masing-masing. Melibatkan diri dengan keyakinan orang lain berarti memahami dan mempelajari keyakinan tersebut. Hal itu pada gilirannya akan membuka dialog antar umat beragama. Dialog ini tidak lebih dari sebuah pendidikan dalam pengertian yang paling luas dan paling mulia. Jika kita bukan seorang yang fanatik, konsekuensi dialog tersebut tidak lain akan memperkaya setiap pemeluknya.
Pandangan inklusif-pluralis secara filosofis teoritis dapat dijumpai dalam kajian ilmu perbandingan agama. Dalam hubungan ini, Schuon, misalnya, mengatakan bahwa dalam kenyataannya, tidak ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa kebenaran unik dan khusus hanya dimiliki agama tertentu. Lain halnya dengan Huston Smith yang mengatakan bahwa pernyataan keselamatan merupakan monopoli salah satu agama saja, sebenarnya sama dengan mengatakan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini dan tidak ada di ruangan sebelah atau hanya dalam busana ini dan tidak ada dalam busana lain.
Nurcholis Madjid mengutip QS. 30:30, bahwa agam itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Kecenderungan alami manusia kepada kebenaran merupakan agama yang benar dan kebanyakan manusia tidak menyadarinya.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pertanyaan yang muncul adalah masihkah kita berpikir bahwa agama bukan wilayah publik? Pluralitas keberagamaan di Indonesia sudah merupakan kepercayaan dan idealisme. Yang paling penting lagi adalah, keberhasilan pendidikan di negara lain tidak bisa dijadikan ukuran untuk memisahkan wilayah agama dalam pendidikan formal di negeri ini.
Patut dicatat, bahwa bangsa ini menjadi begitu terkenal di mata dunia internasional diantaranya, karena keteguhannya menjunjung tinggi-tinggi nilai agama (termasuknya di dalamnya kebebasan memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing) yang kemudian dituangkan dalam sebuah pasal pada UUD Negara. Artinya, manakala masih ada yang mempersoalkan pasal agama, maka keberagamaannya dalam keragaman patut dipertanyakan lebih jauh.***(IB)

Previous | Index | Next | Print artikel